Pagi itu Bekasi terlihat gelap, awan hitam mencoba
menghalangi sinar matahari. Sepertinya, hari itu kehendak awan hitam jauh lebih
berkuasa ketimbang sinar matahari. Makanya langit-langit Bekasi seolah berubah
menjadi kelabu.
Biasanya, saat seperti ini dimanfaatkan oleh anak-anak untuk
bersantai-santai ria, menikmati hujan, dan menyantap hidangan yang sudah
disiapkan oleh orang tua. Tapi tidak untuk remaja pria bernama Erik. Dia sedang
dilanda pilu. Biasa, karena cinta. Makanya tiap mendung kayak gitu, dia cuma
asik internetan, sambil main Simsimi, nanya-nya nggak jauh-jauh dari: “Simi,
gue galau. Pertanyaan gue, kalo lagi galau, kita boleh minum Big Cola, gak?”
hih, emang dasar Erik. Adaaaaaa aja pertanyaannya.
Well, Ke-galauan Erik semakin lama, semakin menggila, tiap
malam ia selalu menyendiri dan menyepi. Wajahnya juga terlihat sangat murung,
layaknya seorang anak yang ingin menghadiri pemakamannya sendiri. Satu dua
langkah telah ia lewati, langkahnya sangat gontai, seperti ada beban hidup yang
menggantung pada betisnya.
Duh, ada apa dengan si
Erik?
***
Siang harinya, Opan datang menghampiri Erik, kemudian Opan
berkata lirih, “Rik, wajahnya kok pucet banget? Lagi ada masalah, ya? Cerita,
dooong! Siapa tau gue bisa ngasih saran.”
Erik tak bergeming, matanya masih sayu, bibirnya juga
terlihat kelu, tampak goresan-goresan kesedihan menyelimuti tatapannya. Keadaan
menjadi hening.
“Heh! Diem aja. Nanti kesambet, lho!” Opan
mengguncang-guncang tubuh Erik yang terlihat lesu.
“I-iya. So-so-sori, Pan,” Erik tersadar, “Barusan lagi
bengong. Maklum, banyak pikiran”
“Emang ada masalah apa, sih?”
“Toni, Pan. Toni. Nggak tau kenapa, gue jadi inget sama dia.
Kenangan itu seakan kembali. Rasa yang dulu ilang, sekarang dateng lagi..”
“Oh, Toni” ujar Opan, “Ya kalo lo masih sayang sama dia,
mendingan nyatain aja sejujurnya, jangan dipendem, percuma, itu cuma nambahin
beban hidup lo. Gini, deh. Emangnya elo mau, kalo Toni direbut sama orang lain,
Rik? Hah? Nggak, kan? Makanya, jangan nyerah. Lagian kalo gue perhatiin,
kayaknya si Toni masih respect deh
sama lo.”
Erik hanya termengu. Sesekali ia merunduk, memikirkan
bagaimana jalan hidupnya akan berlalu.
Masih pada keheningan yang sama, erik lekas mengambil
handphone Nokia C3-nya, lalu membuka folder galeri, dan memilih beberapa photo.
Hasil scrolling-nya berhenti pada
photo seorang pria yang cukup tampan. Lalu diberikannya photo itu ke Opan,
“Nih, lo tau ini photo siapa, Pan?”
Opan melamat-lamat penglihatannya yang sedikit buram, “Wah,
itu photonya si Tokay! Eh, maksudnya Toni! Wuidih dia lagi sama siapa tuh? Kok
lumayan cantik, ya?” tanya Opan.
“Cewek yang di sebelahnya itu namanya Cabulwati, dia naksir
berat sama Toni” Erik menjawabnya dengan nada yang sedikit goyah. Kemudian air
matanya berjatuhan.
“Hah? Cabulwati? Cabulwati yang dulu kuliah di…… uhm, dimana,
Rik?”
“Di Kutub Utara!”
“Nah, itu! Ngambil jurusan apa?”
“Jurusan Sexologi, makanya nama dia Cabulwati. Nama
panjangnya: Anustasya Cabulwati Trijipi..”
“Ajigile, trendy abis namanya! Yang sabar yaaa,” Opan
menenangkan keadaan, sembari membasuh rambut Erik yang tertimpa tetesan air
hujan, “Oh, iya. Gue pergi dulu, ya, Rik. Mau les balet di Pekayon. Kalo lo
butuh temen curhat, dateng aja ke gue. Inshaallah, nanti kita cari solusinya
sama-sama. Oke?”
Erik mengangguk pelan, perlahan Opan menghilang dari tatapan
si Erik.
Keadaan pun kembali hening.
***
Erik terlalu larut dalam kesedihan, hari-harinya selalu
tercoreng oleh air mata, bahkan dia pernah berujar, “Air mata ini jatuh bukan
karena kesedihan. Melainkan pengutaraan kata rindu yang disampaikan melalui
cara yang berbeda. Ya, anggap saja tiap tetes air mata saya adalah satuan
ungkapan rindu pada Toni. Sungguh besar. Sungguh hebat. Sungguh dalam.”
Sebenarnya Erik tak perlu pusing memikirkan kisah cintanya
dengan Toni. Karena pada kenyataannya, ada si Uple yang jauh lebih baik dalam
hal menyayangi, dan mengasihi. So, dalam hal ketulusan hati, si Uple emang
paling juara. Nggak percaya? Jagi gini..
Dulu, tepat ketika malam tahun baru tiba, ada satu momen yang
memperdalam keyakinan orang lain soal ketulusan hati Uple. Mungkin disini ada
dua kemungkinan. 1. Ketulusan Uple hadir, karena panggilan jiwa. 2. Ketulusan
Uple hadir, karena sebuah cinta yang membara. Ya, karena pada dasarnya, Uple
selalu berbuat tulus kepada satu orang saja, siapakah dia? Tentu saja, dia
adalah Erik!
Pada sebuah malam yang ramai di sudut kota Bekasi, Erik
sedang bersandar pada tiang penyangga fly
over. Dia sedang asik bermain suling, sambil meneteskan air mata (Erik
emang gitu, kalo sedih, pasti langsung main suling. Aneh, ya?) kemudian dengan
tak disangka, Uple hadir, dan memegang tiang penyangga, lalu bergumam kearah
Erik, “Sayaaaang, mau digoyang? Yuuuuk~” kemudian Uple bergoyang dengan sronok,
dan Erik masih bermain suling, memainkan lagu Kereta Malam.
BERSAMBUNG..
No comments:
Post a Comment