Saturday, March 1, 2014

Romantika Cinta Erik & Toni

        Pagi itu Bekasi terlihat gelap, awan hitam mencoba menghalangi sinar matahari. Sepertinya, hari itu kehendak awan hitam jauh lebih berkuasa ketimbang sinar matahari. Makanya langit-langit Bekasi seolah berubah menjadi kelabu.

        Biasanya, saat seperti ini dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bersantai-santai ria, menikmati hujan, dan menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh orang tua. Tapi tidak untuk remaja pria bernama Erik. Dia sedang dilanda pilu. Biasa, karena cinta. Makanya tiap mendung kayak gitu, dia cuma asik internetan, sambil main Simsimi, nanya-nya nggak jauh-jauh dari: “Simi, gue galau. Pertanyaan gue, kalo lagi galau, kita boleh minum Big Cola, gak?” hih, emang dasar Erik. Adaaaaaa aja pertanyaannya.

        Well, Ke-galauan Erik semakin lama, semakin menggila, tiap malam ia selalu menyendiri dan menyepi. Wajahnya juga terlihat sangat murung, layaknya seorang anak yang ingin menghadiri pemakamannya sendiri. Satu dua langkah telah ia lewati, langkahnya sangat gontai, seperti ada beban hidup yang menggantung pada betisnya.
Duh, ada apa dengan si Erik?


***

        Siang harinya, Opan datang menghampiri Erik, kemudian Opan berkata lirih, “Rik, wajahnya kok pucet banget? Lagi ada masalah, ya? Cerita, dooong! Siapa tau gue bisa ngasih saran.”

        Erik tak bergeming, matanya masih sayu, bibirnya juga terlihat kelu, tampak goresan-goresan kesedihan menyelimuti tatapannya. Keadaan menjadi hening.

        “Heh! Diem aja. Nanti kesambet, lho!” Opan mengguncang-guncang tubuh Erik yang terlihat lesu.

        “I-iya. So-so-sori, Pan,” Erik tersadar, “Barusan lagi bengong. Maklum, banyak pikiran”

        “Emang ada masalah apa, sih?”


        “Toni, Pan. Toni. Nggak tau kenapa, gue jadi inget sama dia. Kenangan itu seakan kembali. Rasa yang dulu ilang, sekarang dateng lagi..”

        “Oh, Toni” ujar Opan, “Ya kalo lo masih sayang sama dia, mendingan nyatain aja sejujurnya, jangan dipendem, percuma, itu cuma nambahin beban hidup lo. Gini, deh. Emangnya elo mau, kalo Toni direbut sama orang lain, Rik? Hah? Nggak, kan? Makanya, jangan nyerah. Lagian kalo gue perhatiin, kayaknya si Toni masih respect deh sama lo.” 
      
        Erik hanya termengu. Sesekali ia merunduk, memikirkan bagaimana jalan hidupnya akan berlalu.

        Masih pada keheningan yang sama, erik lekas mengambil handphone Nokia C3-nya, lalu membuka folder galeri, dan memilih beberapa photo. Hasil scrolling-nya berhenti pada photo seorang pria yang cukup tampan. Lalu diberikannya photo itu ke Opan, “Nih, lo tau ini photo siapa, Pan?”

        Opan melamat-lamat penglihatannya yang sedikit buram, “Wah, itu photonya si Tokay! Eh, maksudnya Toni! Wuidih dia lagi sama siapa tuh? Kok lumayan cantik, ya?” tanya Opan.

        “Cewek yang di sebelahnya itu namanya Cabulwati, dia naksir berat sama Toni” Erik menjawabnya dengan nada yang sedikit goyah. Kemudian air matanya berjatuhan.

        “Hah? Cabulwati? Cabulwati yang dulu kuliah di…… uhm, dimana, Rik?”

        “Di Kutub Utara!”

        “Nah, itu! Ngambil jurusan apa?”

    “Jurusan Sexologi, makanya nama dia Cabulwati. Nama panjangnya: Anustasya Cabulwati Trijipi..”

     “Ajigile, trendy abis namanya! Yang sabar yaaa,” Opan menenangkan keadaan, sembari membasuh rambut Erik yang tertimpa tetesan air hujan, “Oh, iya. Gue pergi dulu, ya, Rik. Mau les balet di Pekayon. Kalo lo butuh temen curhat, dateng aja ke gue. Inshaallah, nanti kita cari solusinya sama-sama. Oke?”

        Erik mengangguk pelan, perlahan Opan menghilang dari tatapan si Erik.
        Keadaan pun kembali hening.



***

        Erik terlalu larut dalam kesedihan, hari-harinya selalu tercoreng oleh air mata, bahkan dia pernah berujar, “Air mata ini jatuh bukan karena kesedihan. Melainkan pengutaraan kata rindu yang disampaikan melalui cara yang berbeda. Ya, anggap saja tiap tetes air mata saya adalah satuan ungkapan rindu pada Toni. Sungguh besar. Sungguh hebat. Sungguh dalam.”
        Sebenarnya Erik tak perlu pusing memikirkan kisah cintanya dengan Toni. Karena pada kenyataannya, ada si Uple yang jauh lebih baik dalam hal menyayangi, dan mengasihi. So, dalam hal ketulusan hati, si Uple emang paling juara. Nggak percaya? Jagi gini..

        Dulu, tepat ketika malam tahun baru tiba, ada satu momen yang memperdalam keyakinan orang lain soal ketulusan hati Uple. Mungkin disini ada dua kemungkinan. 1. Ketulusan Uple hadir, karena panggilan jiwa. 2. Ketulusan Uple hadir, karena sebuah cinta yang membara. Ya, karena pada dasarnya, Uple selalu berbuat tulus kepada satu orang saja, siapakah dia? Tentu saja, dia adalah Erik!

        Pada sebuah malam yang ramai di sudut kota Bekasi, Erik sedang bersandar pada tiang penyangga fly over. Dia sedang asik bermain suling, sambil meneteskan air mata (Erik emang gitu, kalo sedih, pasti langsung main suling. Aneh, ya?) kemudian dengan tak disangka, Uple hadir, dan memegang tiang penyangga, lalu bergumam kearah Erik, “Sayaaaang, mau digoyang? Yuuuuk~” kemudian Uple bergoyang dengan sronok, dan Erik masih bermain suling, memainkan lagu Kereta Malam.


BERSAMBUNG..

No comments:

Post a Comment